Blogger Widgets Gudangnya Ilmu apa saja: November 2013
SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA, SILAHKAN BERGABUNG DENGAN KAMI

Kamis, 14 November 2013

ANALISIS PEMIKIRAN JOHN LOCKE


BAB III
ANALISIS


3.1. Ajaran John Locke
            Ajaran John Locke tentang negara  dan hukum nantinya adalah merupakan jabatan antara pemikiran tentang negara dan hukum pada abad XVII dengan pemikiran tentang negara dan hukum pada abad ke XVII mengalami suatu pertumbuhan serta perkembangan yang sama sekali lain dari pada pertumbuhan serta perkembangan yang sama semula.  
            Ajaran John Locke yang perlu untuk mendapatkan perhatian yaitu tentang pendapatnya mengaenai hak-hak alamiah manusia yang tidak dapat diserahkan kepada masyarakat dengan melalui atau jalan suatu perjanjian. Berarti diadakan pembatasan terhadap kekuasaan negara, demi perlindungan kepentingan individu. Dengan demikian, maka raja tidak bertindak sewenang-wenang, karena rakyat tidak memberikan hak sepenuhnya kepada rakyat dan hal ini sangat baik untuk diterapkan dalam suatu negara dan contoh kongkritnya dapat kita lihat dalam negara kita Indonesia. Dengan begitu rakyat punya peranan yang penting dalam pemerintahan yang ada seperti peran dalam pemilihan umum untuk memilih pemimpin dan di Indonesia terlihat dalam pemilihan Presiden setip lima tahun sekali yang rakyat dapat memilih langsung.
            Semua tujuan dari pada hukum alam itu adalah untu membatasi kekuasaan absolut dari pada negara. Dengan demikian ajaran John Locke menimbulkan konstruksi pemerintahanyang bersifat terbatas.
            Jadi, menurut John Locke keadaan alam bebas dan alamiah telah mendahului sebelum terbentuknya negara dan saat itu telah ada perdamaian yang di inginkan oleh setiap manusia dan selain perdamain ada juga akal pikiran, jadi sebelum adanya negara sudah ada yang namanya pikiran seperti halnya dalam suatu negara.. Hak-hak alamiah yang dimaksudkan adalah;
1.      Hak hidup
2.      hak kebebasan atau kemerdakaan

3.      hak akan milik, hak memiliki sesuatu.
Ciri dari pada hukum alam itu adalah berlakunya hukum ini umum dan harus sesuai dengan rasio. Dengan begitu hukum yang ada harus sesuai dengan kenyataan dan tentunya harus dapat diterima dengan akal atau logis. Sedangakan peraturan yang sewenag-wenang terutama dalma unsur pembuatan undang-undang itu ada unsur kepentigan orang-orang atau kelompok dan golongan tertentu bukan merupak hukum alam, karena umum tiadak mau menaati.
Tugas negara yaitu;
Ø  Membuat UU.
Ø  Melaksanakn peraturan yang ditetapkan.
Ø  Mengatur hubungan dengan negara lain.
Bentuk negara menurut John Locke ;
1.      Apabila kekuasaan perundangan-perundangan diserahkan kepada satu orang saja, disebut Monarki
2.      Apabila kekuasaan perundangan-perundangan diserahkan kepada beberapa orang, disebut Aristokrasi
3.      Apabila kekuasaan perundangan-perundangan diserahkan kepada masyarakat, disebut Demokrasi
Tujuan negara menurut pendapat John Locke adalah perjanjian masyarakat membentuk dan selanjutnya negara itu, tujuanya adalah untuk memelihara dan menjamin terlaksananya hak asasi manusia. Dan mengatakan dalam perjanjian masyarakat menyerahkan hak-hak almaiahnya kepada masyarakat ,tetapi tidak semua hak-hak diserahkan kepada masyarakat dan hak-hak asasi itu yang menjadi tujuan negara. Kekuasaan penguasa dibatasi oleh hak-hak asasi tiu.
John Locke menjadi seorang pembela dari hak-hak pemerintahan monarki terbatas. Manusia dalam keadaan bebas mengatakan sejak manusia itu dilahirkan kedalam dunia sudah memiliki hak –hak menurut kodratnya yaitu yang sekarang kita sebut hak asasi manusia (HAM). Selain itu juga tujuan dari adanya negara pada umumnya yang kita ketahui yaitu untuk menjamin atau memelihara terlaksananya hak-hak aasi, sehingga kalau ada yang melanggar hak asasi itu harus diberantas, karena kalau hak-hak itu masih dilanggar maka manusia tidak akan merasa dirinya berharga.
Yang menjadi kesulitan dari pada pemikir besar abad XVII khususnya John Locke yaitu John Locke mencampur adukan hal-hal yang seharusnya logis, seperti pemisahan antara: alam dengan rohaniah atau Agama, hukum dengan tata susila. Dan itulah  yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan yang dikehendaknya. Pembagian kekuasaan negara menuru John Locke dipertegas dan disempurnakan oleh tokoh yang terkenal yaitu Montesquie yang menjadi tujuanya yaitu mengusahakan agar pemerintahan absolute itu tidak ada, karena hal itu sangat mengabaikan hak-hak asasi manusia bahkan hak-hak yang dibawa sejak lahir.

            Penerapan ajaran John Locke di negara Indonesia
            Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia mengunakan tori pemisahan kekuasaan negara oleh Montesquieu dan Montesquieu itu mempertegas teori kekuasaan yang dikemukakan oleh John Locke. Sehingga kita sebagai negara yang menganut sistem pembagian keuasaan  Montesguieu tentu erat sekali kaitanya dengan pendapat dari John Locke.
 >         Selanjutnya dalam keadaan alam bebas menuru John Locke manusia itu punya hak-hak dasar atau alamiah yang telah dibawa sejak dia dilahirkan ke dunia, yaitu hak-hak manusia yang dimilikinya secara pribadi yang berarti mengakui adanya HAM dan dalam negara kita Indonesia sangat menghargai dan menghormati HAM hal tersebut dapat dilihat dalam pasca orde baru tampak semakin jelas landasan operasionalnya. Setelah keluarnya keppres No. 50/1993 tentang, “komunis HAM” dilanjutkan dengan lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang ”hak asasi manusia”, kemudian disusul dengan keluarnya UU No. 39/1999 tentang “pelaksannan HAM di Indonesia”, serta perpu No. 1/1999 tentang peradilan HAM”.
            Tap MPR No. XVII/MPR/1998 memuat tentang piagam hak asasi manusia, yang antara lain berisi ; hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak atas kebebasan informasi, hak keamanan, hak kesejahteraan, kewajiban, perlindungan dan pemajuan. Hak-hak alamiah manusia menurut John Locke  yaitu
Ø  Hak hidup
Ø  hak kebebasan atau kemerdakaan
Ø  hak akan milik, hak memiliki sesuatu
Semua hak alami manusia yang diatas semuanya ada dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 dan terdapat juga dalam UUD seperti hak kebebasan dan kemerdekaan dan hak lainya yang ada dalam pasal 28 yang terdiri dari 10 ayat(A-J). Dengan demikian dapat dikatakan dengan pasti pemikiran John Locke diterakan di negara Indonesia.
 >         Tugas negara menurut John Locke atau yang disebut dengan Trias politik yaitu ;
a. Legislatif yaitu membuat undang-undang.
b. Eksekutif yaitu melaksanakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan atau yang dibuat oleh badan Legislatif.
c. Federatif yaitu kekuasaan mengatur hubungan dengan negara-negara lain.
            Dari uraian diatas dapat dikaitkan degan pembagian kekuasaan di Indonesia (Montesquieu ), yaitu ;
a. Legislatif yaitu membuat undang-undang
b. Eksekutif yaitu melaksanakan UU dan menyusun RUU
c. Yudikatif yaitu megawasi jalanya pemerintahan
            Dengan demikian ajaran John Locke yang diterapkan di Indonesia yaitu tugas Legislatif dan Eksekutif sama, hanya saja di Indonesia Eksekutif dapat menyusun RUU (Presiden) atau antara legislatif,eksekutif dan yudikatif dapat bekerja sedangkan menurut John Locke tidak dapat bekerja sama antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
 >         Dalam perjanjian masyarakat meurut John Locke tidak semua hak-hak diserahkan kepada penguasa terutama hak yang dibawa sejak lahir, di Indonesia juga rakyat tidak menyerahkan hak-haknya kepada pemimpin atau yang kita kenal yaitu wakil rakyat, hal itu bisa kita lihat dengan dicantumkanya hak-hak manusia dalam peraturan dan juga dalam undang-undang dasar 1945. 
John Locke adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Inggris. Ia hidup pada tahun 1632-1704, di bawah kekuasaan pemerintahan Willem III, yang sifat pemerintahannya adalah Monarki yang sudah agak terbatas. Dan memang demikianlah, bahwa seluruh ajaran John Locke terutama ajarannya tentang negara dan hukum, berhubungan langsung dengan, dan mengandung gambaran yang jelas serta bersifat pembenaran pemerintahan Monarchi terbatas yang diciptakan oleh Willem III bersama permaisurinya Mary.
            Ajaran John Locke tentang negara dan hukum nantinya adalah akan merupakan jembatan antara pemikiran tentang negara dan hukum pada abad XVII dengan pemikiran tentang negara dan hukum pada abad XVIII. Dan dengan demikikan hukum alam pada abad ke XVII mengalami suatu pertumbuhan serta perkembangan yang sama sekali lain daripada pertumbuhan serta perkembangan yang semula. Ini disebabkan karena adanya faktor-faktor yang terletak di luar objek dari pikiran yang sebenarnya, di luar pikiran yang abstrak.
            Dari ajaran Joh Locke nanti yang perlu mendapatkan perhatian istimewa adalah tentang pendapatnya mengenai tentang hak-hak alamiah manusia yang tidak dapat diserahkan kepada masyarakat dengan melalui atau jalan suatu perjanjian. Sebab ajaran atau pendapat itu membuka kemungkinan besar timbulnya ajaran tentang ajaran-ajaran manusia. Dengan demikian dalam banyak hal ajaran John Locke adalah merupakan lanjutan dari pada ajaran kaum monarkomaken, oleh karena itu hal ini berarti diadakannya pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan negara, demi perlindungan kepentingan inndividu.
            Mengenai pendapatnya tentang hukum alam, pendapat John Locke masih sama dengan pendapat sebelumnya yaitu bahwa hukum alam tetap mempunyai dasar rasional dari perjanjian masyarakat yang timbul dari hak-hak manusia dari keadaan alamiah, tetapi cara berfikir yang bersifat logis-dedukatif-matematis telah dilepaskan dan diganti dengan suatu cara berfikir yang realistis, dengan memperhatikan sungguh-sungguh praktek ketatanegaraan dan hukum. Dan inilah yang kemudian menimbulkan teori-teori baru, seperti: kesabaran, pembagian kekuasaan, ajaran tentang hak-hak asasi atau hak-hak dasar manusia dan kekuasaan perundang-undangan yang dilakuakan oleh suatu dewan perwakilan rakyat.
            Ajaran-ajaran John Lock itu nanti semua akan mempengaruhi pemikiran tentang negara dan hukum apa abad ke XVIII, bahkan malahan akan berkembang lebih lanjut dalam pemikiran tentang negara dan hukum abad ke XVIII, tidak saja itu bahkan malahan dipraktekkan.
            Ajaran John Lock tentang negara dan hukum ditulis dalam bukunya yang terkenal yaitu TwoTreaties on Civil Government. Semula tujuan daripada aliran hukum alam itu adalah untuk membatasi kekuasaan absolute dari pada negara yang diciptakan antara lain oleh Niccollo Machiavelli dan John Boudin jadi sebenarnya teori hukum alam ini merupakan lanjutan daripada aliran monarkomaken yang dipelopori oleh Johanes Althusius. Tetapi para penganut hukum alam lalu melepaskan unsur-unsur theologis atau unsur ketuhanan yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lagi diturunkan dari tuhan, akan tetapi dari alam kodrat, dan berdasarkan asas rasio. Maka kekuasaan penguasa itu lagi diturunkan dari Tuhan yang mengakibatkan kekuasaan penguasa itu bersifst mutlak, tetapi kekuasaan itu didasarkan atas hukum alam, maka dengan demikian kekuasaan penguasa itu tidak mungkin bersifat mutlak.
            Demikianlah antara lain pokok daripada ajaran John Locke, yang menimbulkan konstruksi pemerintahan yang bersifat terbatas. Ajaran dari Thomas Hobbes-pun sebenarnya tidak menimbulkan konstruksi pemerintahan mutlak, dalam arti bahwa segala sesuatunya itu masih didasarkan atas norma-norma hukum alam.
            John Locke sebagaimana ia ahli pemikir hukum alam, mendasarkan juga teorinya pada keadaan manusia dalam alam bebas. Dan memang menganggap bahwa keadaan alam bebas atau keadaan alamiah itu mendahului adanya negara, dan dalam keadaan itu pun telah ada perdamaian dan akal pikiran seperti halnya dalam negara. Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes, karena Thomas Hobbes mengatakan bahwa dalam keadaan alamiah itu tidak ada aturan, tidak ada perdamaian. Jadi keadaannya lain sekali dengan keadaan negara.
            Selanjutnya menurut John Locke, dalam keadaan alam bebas atau alamiah itu manusia telah mempunyai hak-hak alamiah, yaitu hak-hak manusia yang dimaksud yang dimiliknya secara pribadi itu adalah :
  1. hak akan hidup
  2. hak akan kebebasan atau kemerdekaan
  3. hak akan milik, hak akan memiliki sesuatu
Jadi menurut kodratnya manusia itu sejak lahir telah mempunyai hak-hak kodrat, hak-hak alamiah, dan yang oleh John Locke disebut hak-hak dasar, atau hak –hak asasi, ini pun berbeda dengan pendapat Thomsa Hobbes yang berpendapat bahwa dalam keadaan alam bebas itu manusia belum mempunyai hak apa-apa. Jadi, menurut kodratnya manusia itu lahir tanpa hak apa-apa, hak itu baru akan diperoleh naanti sesudah manusia itu hidup bernegara. Dalam keadaan alam bebas itu, atau sejak manusia itu dilahirkan menurut kodratnya baru memiliki sifat-sifat, bukan hak.
Tetapi demikian John Lock dalam keadaan alam bebas itu hak-hak asasi manusia itu tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena manusia itu selalu diliputi rasa kepentingan untuk membela diri masing masing sehingga dalam keadaan bebas itu tida ada kepastian hukum, jadi ketertiban hukum tidak dapat dilaksanakan. Ini memeng sudah menjadi sifat dan watak daripada manusia dan tidak ada seorang pun yang dapat melepaskan diri dari hal-hal tersebut. Hanya bedanya ada orang yang hendak membela kepentingan itu dengan kasar, sedang orang lain secara halus atau secara tidak langsung.
Maka untuk menjamin terlaksananya hak-hak manusia tadi, manusia lalu menyelenggarakan perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat lalu Negara. Dalam perjanjian itu orang-orang menyerahkan hak-hak almiahnya kepada masyarakat tetapi tidak semuanya. Masyarakat ini kemudian menunjuk seorang penguasa dan kepada penguasa ini kemudian diberikan wewenang untuk menjaga dan menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia tadi. Tetapi didalam menjalankan tugasnya ini kekuasaan penguasa adalah terbatas, yang membatasinya adalah hak-hak asasi tersebut, artinya didalam menjalankan kekuasaannya itu penguasa  tidak boleh melanggar hak-hak asasi.
Tugas negara menurut John Lock adalah menetapkan dan melaksanakan hukum alam.  Hukum alam disini dalam pengertiannya yang luas artinya negara itu tidak hanya menetapkan dan melaksanakan hukum alam saja, tetapi dalam membuat peraturan-peraturan atau undang-undang negara pun harus juga berpedoman pada hukum alam.  Ciri atau tanda dari pada hukum alam ini adalah bahwa berlakunya hukum ini umum dan sesuai dengan rasio. Dengan demikian maka peraturan-peraturan yang sifatnya tidak umum itu bukan peraturan dari hukum alam. Sedangkan peraturan yang ditetapkan secara sewenang-wenang itu tidaklah merupakan hukum alam, karena umumnya tidak mau menaati dan ini hanya jadi, dengan demikian tugas negara adalah :
  1. membuat dan menetapkan  peraturan
  2. melaksankan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan itu.
  3. kekuasaan mengatur hubungan dengan negara-negara lain.
Ketiga tugas inilah yang kemudian disebut ‘trias politika’ yang nantinya akan diuraikan lebih lanjut dan disempurnakan oleh Montesquieu dalam abad ke XVIII.
            Selanjutnya sehubungaan dengan toerinya pembagian negara tadi John Lock membicarakan tentang bentuk-bentuk negara. Dalam hal ini yang diperguankan sebagai kriteria adalah pada siapa kekuasaan perundang-undangan adalah kekuasaan yang tertinggi dalam negara sebab yang menyatakan kehendak daripada negara.
Berdasarkan kriteri tersebut di atas bentuk negara dapat dibedakan menjadi :
1.      Apabila kekuasaan perundang-undangan itu diserahkan kepada satu orang saja maka negara ini disebut Monarki.
2.      Apabila kekuasaan perundang-undangan itu diserahkan kepada beberapa orang, atau kepada suatu Dewan, maka negara ini disebut Aristokrasi.
3.      Apabila perundang-undangan itu diserahkan kepada masyarakat seluruhnya atau rakyat, sedang pemerintah hanya melaksanakan saja, maka negara ini disebut Demokrasi.
Bagaimana pendapat John Locke selanjutnya ? Ia berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi jadi kekuasaan perundang-undangan tidak mungkin kekuasaan terletak di tangan rakyat, tak pernah orang melihat suatu permusyawaratan umum yang mengangkat seorang raja, paling-paling golongan terbanyak. Lain dari pada itu orang harus membedakan pengertian penobatan dan memilih. Tuhanlah yang memilih, sedangkan rakyat hanya menobatkan. Dan Monarki adalah bentuk yang paling baik. Alasannya apa ? Alasanya sejarah, jadi praktek ketatanegaraan, yaitu Romawi, Romawi terkenal sebagai negara demokrasi terbaik di seluruh dunia tetapi akhirnya jatuh juga ke tangan kekuasaan kaisar-kaisar. Apa sebabnya ? karena di dalam demokrasi itu tidak ada kepastian dari rakyat. Ini menghalang-halangi tercapainya tujuan masyarakat yang telah dibentuk, jadi tujuan negara.
Apakah tujuan negara itu ? tujuan negara menurut John Locke adalah bahwa perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat  dan selanjutnya negara itu tujuannya adalah memelihara dan menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia. Dan dalam perjanjian masyarakat ini tiap-tiap manusia menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada masyarakat, tetapi tidak semua. Yang dikecualikan, jadi yang tidak diserahkan adalah hak-hak asasi tersebut. Karena ini, menurut John Locke  tidak dapat dilepaskan. Justru jaminan terhadap hak-hak asasi manusia inilah yang menjadi tujuan negara. Bahkan kekuasaan penguasa-pun dibatasi oleh hak-hak asasi ini. Jadi hal inilah yang tidak memungkinkan kekuasaan penguasa itu bersifat mutlak. Ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobes yang menyatakan bahwa kekuasaan penguasa itu harus mutlak.

ALASAN-ALASAN MELAKUKAN PERUBAHAN UUD 1945



A.Mukhtie Fadjar dalam Pidato Pengukuhan guru Besarnya “Reformasi Konstitusi dalam masa Transisi Paradigmatik” mengemukakan lima alasan perlunya melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yaitu historis, filosofis, teoritis, yuridis, dan politik-praktis. 
Pertama, secara historis, pemikiran yang mendorong perubahan UUD 1945 terkait dengan sifat kesementaraan UUD. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno sebagai berikut:

“UUD yang dibuat sekarang adalah UUD Sementara. kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah UUD kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis permusyawaratan rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna.”

Dalam kesempatan pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956, Soekarno mengulangi kembali pernyataan yang hampir senada sebagai berikut:

“kita bukan tidak punya konstitusi, malahan dengan konstitusi yang berlaku sekarang (UUD Sementara 1950,pen.) kita sudah mempunyai tiga konstitusi. Tapi semua konstitusi itu (UUd 1945, KRIS 1949 dan UUD Sementara 1950,pen.) adalah bersifat sementara. Semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara angggota-anggota sesuatu konstituanse yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua Negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebbuah konstitusi yang dibuat oleh tangan rakyat sendiri”.

Alasan Soekarno mengatakan konstitusi sebagai konstitusi sementara terkait dengan kondisi obyektif yang berada di sekitar persiapan dan penetapan UUD 1945 itu sendiri. Ketika itu, dalam suasana perang dan peralihan dari kekuasaan Jepang kepada Sekutu yang menyebabkan kekosongan kekuasaan di Indonesia, para pendiri negara tidak mungkin membuat konstitusi yang sempurna. Bagi mereka, yang paling penting Indonesia merdeka dan ada hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional terbentuknya negara yang merdeka.
Kedua, alasan substantive. Selain sifat kesementaraan itu, perubahan terhadap UUD 1945 tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 sehingga tidak pernah menampilkan pemerintahan yang demokratis. Kelemahan itulah yang menjadi alasan kuat (raison d’etre) untuk mengubah konstitusi hasil karya pendiri bangsa ini. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi Hukum dan Perundang-undangan yang dibentuk Presiden Habibie, sebelum perubahan UUD 1945 memiliki lima kelemahan mendasar, yaitu :
1. Struktur ketatanegaraan yang sangat executive-heavy
2. Tidak cukup mengatur checks and balances
3. Terdapat ketentuan yang tidak jelas (vague)
4. Terlalu banyak delegasi kepada undang-undang 
5. Beberapa muatan Penjelasan UUD 1945 yang tidak konsisten dengan pasal-pasal dalam UUD 1945
Selain itu Kelompok Kerja menambahkan terdapat banyak kekosongan (rech vacuum) yang seharusnya diatur dalam UUD 1945.
Secara substansi, UUD 1945 sangat executive-heavy dan sangat minum checks and balances. Hal ini tidak terlepas dari keinginan pendiri Negara yang ingin memberikan kekuasaan yang lebih besar bagi eksekutif tanpa menentukan batas-batas kekuasaan secara jelas dan minus checks and balances sehingga memberikan kekuasaan yang amat dominan kepada Presiden. Dalam system presidential, presiden cenderung diberikan kekuasaan yang relative besar, namun desain konstitusi harus cenderung mampu mengantisipasi agar presiden tidak menjadi pemimpin yang otoriter.
Di Indonesia, kekuasaan besar yang diberikan tanpa control konstitusional yang memadai. Dalam ranah legislasi misalnya, meski sudah dijelaskan sebelumnya bahwa DPR dan Presiden merupakan pemegang kekuasaan legislasi, dalam praktek presiden jauh lebih dominan dibanding dengan DPR. Mahfud mengilustrasikan, sebuah RUU yang telah disetujui DPR jika tidak disahkan presiden, tidak dapat diajukan lagi. Begitu dominannya presiden, RUU yang sudah disetujui DPR dan pemerintah tidak disahkan oleh presiden. Contoh itu dapat ditambah lagi dengan pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno karena lembaga ini menolak Rancangan APBN yang diajukan pemerintah.
Sekalipun Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah tidak bersifat absolutisme dan Indonesia tidak berdasarkan kekuasaan belaka, namun dengan besarnya kekuasaan lembaga kepresidenan, sangat sulit terciptanya balance of power apalagi checks and balances di antara cabang kekuasaan pemerintah. Apalagi dorongan untuk menjadikan presiden menjadikan presiden mempunyai kekuasaan yang absolute dilegitimasi oleh Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawah MPR”. Tidak cukup dengan hal itu, dalam menjalankan pemerintahan presiden menjadi pusat kekuasaan dan tanggung jawab penyelenggara negara (concentration of power and responisibility upon the President).
Dalam hal terlalu banyak delegasi kepada undang-undang, Penjelasan UUD 1945 secara ekspisit menyatakan bahwa hukum dasar yang dirancang oleh para pendiri negara bersifat singkat dan supel. Berhubung dengan sifat itu, ditegaskan sebagai berikut:

“Maka telah cukup jikalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagi instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social. Terutama bagi Negara batu dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanyya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan undang-undang, yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan mencabut”. 

Berdasarkan hal itu, UUD 1945 memang telah dirancang sedemikian rupa dengan memberikan pendelegasian yang lebih rendah berupa undang-undang. Dari ketentuan yang ada, setidak-tidaknya UUD 1945 mendelegasikan 15 masalah penting penyelenggaraan negara kepada undang-undang. Masalah-masalah itu meliputi : komposisi keanggotaan MPR, syarat dan akibat keadaan bahaya, susunan Dewan Pertimbangan Agung, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, susunan keanggotaan DPR, pajak, mata uang, keuangan Negara, susnan dan kedudukan kahakiman, syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim, kewarganegaraan, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, pertahanan Negara, dan pendidikan nasional.
Jika diletakkan dalam teori konstitusi, sebagian masalah penting itu seharusnya diatur dengan materi hukum dasar bukan mendelegasikannya menjadi substansi undang-undang. Sebagaimana dinyatakan S.E. Finer, Vernon Bogdanor dan Bernard Rudden, konstitusi merupakan seperangkat norma yang bertujuan mengatur fungsi-fungsi kekuasaan serta tugas diantara berbagai lembaga negara dan mengatur hubungan antara lembaga itu termasuk hubungan dengan masyarakat. Dengan memberikan delegasi yang lebih banyak kepada undang-undang, sebagai the fundamental and organic law of a nation UUD 1945 dapat dikatakan mereduksi diri sendiri sebagai sebuah hukum dasar.
Dalam batas-batas tertentu, jika undang-undang dasar memmberikan atribusi kewenangan untuk mengatur beberapa hal kepada undangt-undang dapat saja dikatakan wajar dan tidak menjadi masalah. Tetapi UUD 1945 terlalu longggar menyerahkan hal-hal yang amat fundamental kepada undang-undang. Dalam system ketatanegaraan yang mengabaikan checks and balances dengan konsentrasi kekuassaan di tangan presiden, sagat mungkin undang-undang mereduksi substansi UUD 1945. Keadaan akan makin bertambah buruk dengan model fungsi legislasi yang berada dalam kendali pemerintah.
Salah satu contoh delegasi ke tingkat undang-undang yang mereduksi substansi konstitusi adalah undang-undang yang berhubungan dengan susunan keanggotaan DPR sepanjang kekuasaan Orde Baru. Pasal 19 ayat 2 UUD 1945 menyatakan “ susunan DPR ditetapkan dengan Undang-undang”. Dengan delegasi UUD 945 untuk menentukan susunan DPR, sejak Pemilihan Umum 1971-1999, sebaian anggota DPR diisi dengan cara penunjukan. Kecuali dalam 1990-an, sejak pemilihan umum pertama OrBa, 100 orang anggota DPR dianggap dari ABRI. Dengan delegasi itu, engineering yang dilakukan undang-undang seolah-olah benar. Kondisi itu diperparah dengan adanya atribusi undang-undang kepada pemerintah )presiden) dalam bentuk peraturan pemerintah dan/atau keputusan presiden. Sepanjang kekuasaan OrBa, seperti dikemukakan Mahfud, pemerintah (presiden) telah mengakumulasikan kekuasaan secara besar-besaran kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 sehingga menjadi rezim otoriter.
Selain masalah delegasi kepada undang-undang, sejumlah pasal UUD 1945 tidak jelas yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi. Salah satu contoh klasik yang sering dikemukakan yaitu pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama masa lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 7 UUD 1945 secara jelas mengatur bahwa masa jabatan presiden adalah lima tahun. Ketidakjelasan dan multitafsir itu muncul dengan adanya frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” karena tidak ada penegasan atau pembatasan untuk beberapa kali seseorang dapat menduduki jabatan presiden dan wakil presiden.
Dengan adanya pembatasan itu, sejak kembali ke UUD 1945 pada 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto 1998, tafsr yang dikembangkan dari frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” adalah tanpa masa jabatan yang jelas (fex-term) atau durasi tanpa batas. Dalam bahasa Bambang Widjojanto, penafsiran itu kemudian dikendalikan tanpa batasan sampai kapan sesorang dapat menjabat sebagai presiden. Tafsir demikian didukung pandangan normative-legalistik yang dikembangkan sebagai pandangan standar dari kebenaran. Dengan tafsir itu, melalui Tap MPRS No. III/1960, Soekarno pernah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu juga masa Orde Baru, sekalipun tidak ditetapkan seperti Soekarno, Soeharto dipilih sebagai presiden secara berulang-ulang samapai tujuh kali.
Selain masalah subsatnsi di atas, UUD 1945 terlalu percaya kepada orang bukan kepada system. Padahal semua teori konstitusi mengatakan, salah satu tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaa negara. Misalnya, van Maarseven dan Ger van der Tang mengemukakan, constitution as a mean of forming the states on political and legal system. Pendapat ini menghendaki bahwa konstitusi harus menjadi dasar untuk membangun system politik dan system hukum. Dengan pengertian itu, system menjadi lebih penting dibandingan orang yang akan mengisi system. Bukan sebaliknya, individu lebih penting daripada membangun system.
Secara substansi, Penjelasan UUD 1945 juga menimbulkan masalah (problematic) dalam penyelenggaraan negara. Sejak awal, Penjelasan UUD 1945 telah memicu pro-kantra. Salah satu penyebabnya, ketika PPKI menetapkan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1845, Penjelasan tidak menjadi bagian dari UUD 1945, Penjelasan pertama kaali ditemukan dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II No.7 tanggal 15 Februari 1946. Dari penelususran Simorangkir, Penjelasan merupakan buah pikiran Supomo yang kemudian dimasukkan bersama-sama Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu, penjelasan juga menjadi tidak lazim karena tidak ada konstitusi yang memiliki penjelasan resmi. Apalagi, baik hukum atau kenyataana, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekeuatan hukum seperti pasal-pasal (Batanng Tubuh) UUD 1945.
Nnamun, problematik Penjelasan UUD 1945 yang sesungguhnya muncul karena muatannya tidak konsisten dengan pasal-pasal yang terdapat dalam pasal-pasal atau Batang Tubuh UUD 1945. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi hukum dan Perundang-undangan, bagian-bagian yang tidak konsisten itu diantaranya, “Presiden diangkat oleh Majelis dan bertanggungjawab kepada Majelis”. Sementara dalam pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan “presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Dari kutipan di atas, tampak perbedaan antara bunyi Batang Tubuh dan Penjelasan, bahkan ada pertentangan. Dalam praktek, yang diikuti adalah MPR “mengangkat” bukan “memilih” Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, di bawah UUD 1945, sehjak kemaerdekaan sampai berakhirnya kekuasaan Soeeharto, presiden “diangkat” bukan “dipilih”. Bahkan, tambah Harun Alrasyid, selama keuasaan Ordde Baru, kaidah yang hidup dalam pengisian jabatan Presiden dan wakil Presiden adalah tradisi calon tunggal.
Disamping itu, tentang “Presiden bertndak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Sebagaimana diketahui, salah satu kelemahan UUD 1945, tidak ada pasal yang mengatur mengenai pertaggungjawaban presiden. Walaupun demikian tidak berarti penjelasan dapat serta merta menentukan “presiden bertindak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Kemudian dalam praktek diartikan, MPR dapat memberhentikan presiden. Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, Presiden Soekarno (1967) dan Abdurrahman Wahid (2001) diberhentikan MPR dengan menggunakan pranata “persidangan istimewa” yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945. 
Ketiga, alasan Filosofis. Bagir Manan mengemukakan, secara filosofis, perubahan UUD 1945 dilakukan, pertama, UUD 1945 merupakan moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya UUD 1945. Setelah digunakan dalam waktu yang cukup lama, tentu terdapat berbagai perubahan baik di tingkat nasional maupun global. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai dengan kodratnya tidak akan pernah sampai pada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan.
Masih dari sudut filsafat kenegaraan, terdapat prinsip kedaulatan yang berpotensi saling menegasikan. Setidaknya, UUD 1945 menganut tiga bentuk kedaulatan, yaitu Kedaulatan rakyat, Kedaulatan hukum, dan Kedaulatan Negara. Dari ketiga hal itu, kadaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi kedaulatan Negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, kedaulatan Negara akan dengan mudah menjelma menjadi system yang yang otoriter karena Negara dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan pemerintahan. Filsafat kenegaraan itu bisa makin rumit dengan pencampuradukkan antara paham kedaulatan rakyat dengan paham Negara integralistik.
Keempat, alasan teoritis. Dalam praktek ketatanegaraan sering terjadi konstitusi tidak mampu lagi menampung perkembangan yang terjadi. Biasanya untuk mengatasi situasi itu, kondisi harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam praktek ketatanegaraan. Untuk itu, Karl Loewestein mengemukakan bahwa evaluasi terhadap konstitusi menjadi sesuatu yang esensial untuk mengetahui realitas perubahan yang terjadi. Dengan alasan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, perubahan (amandemen) atau pembaruan (reform) konstitusi menjadi pilihan. Jika perubahan tidak dilakukan, ditambahkan oleh Karl Lewenstei, kontitusi akan kehilangan nilai normative karena apa yang diatur dalam konstitusi berbeda dengan yang dipraktekkan.
Kelima, secara praktis, sekalipun tidak mengubah teks, UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan. Misalnya, keluarnya Maklumat No. X yang mengubah kedudukan KNP menjadi lembaga legislative yang sejajar dengan presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja KNP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNP. Kemudian, BP KNIP mengusulkan untuk mengubah system pemerintahan dari system presidensial menjadi system parlementer. Terkait dengan perubahan UUD 1945 tanpa mengubah teks, Moh. Fajrul Falaakh mengatakan teks UUD 1945 memang masih seperti katika disahkan pada 18 Agustus 1945, tetapi makna Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR, independensi Mahkamah Agung, luas wilayah Negara, identifikasi atass cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tata cara perubahan UUD 1945, dan tafsir atas kontruksi ketatanegaraan. 
Keenam, alasan yuridis. Menyadari ketidak sempurnaan hasil kerja manusia, pembentuk konstitusi Amerika Serikat menyatakan “nothing human can be perfect. Surrounded by difficulties, we did the best we could; leaving it with those who should come after us to take counsel from experience, and exercise prudently the power of amandement, which we had provide….
Pendapat ini membuktikan bahwa perancang konstitusi menyadari perubahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari karena kesulitan-kesulitan yang terjadi ketika konstitusi itu dirumuskan dan perubahan dinamika ketatanegaraan yang terjadi di kemudian hari. Untuk mengantisipasi hal ini, setiap konstitusi merumuskan landasan hukum untuk melakukan perubahan. 
Seperti pengalaman Amerika Serikat, para penyusun UUD 1945 juga membuat landasan hukum perubahan UUD 1945. Dalam hal ini, pasal 37 UUD 1945 ,menyatakan, (1) untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, dan (2) putusan diambil sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir. Hadirnya pasal perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari kelemahan-kelemahan dan kesulitan-kesulitan yang terjadi di sekitar proses perumusan UUD 1945. Apalagi, para pembentuk UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa UUD 1945 bersifat sementara. Karena kelemahan dan kesulitan yang ada serta sifat kesemenataraan itu, landasan hukum perubahan menjadi keniscayaan. 
Karena alasan-alasan tersebut, dalam buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negarra Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan oleh Sekretaris MPR RI dinyatakan bahwa terdapat tujuh tujuan pokok perubahan UUD 1945 berikut ini:
1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarka Pancasila.
2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi
3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
4. Menyempurnakan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, system saling mengawasi dan saling imbang yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban Negara mewujudkan kesejahteraan social, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan
6. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum
7. Menyempurnakan aturan dasar mengennai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus menagkomodasi kecendrungan untuk kurun waktu yang akan datang.
Dari semua alasan melakukan perubahan tersebut, salah satu tujuan pokok adalah melakukan penataan terhadap semua lembaga negara agar tercipta mekanisme saling mengawasi dan saling imbang dianara lembaga negara. Akibatnya, pada salah satu sisi ada lembaga negara yang mendapat tambahan kewenangan secara signifikan, sementara di sisi lain sejumlah lembaga negara yang berkurang kewenangannya. Tidak hanya sekedar terjadi penambahan dan pengurangan kewenangan, perubahan UUD 1945 juga memunculkan lembaga negara yang sama sekali baru. Bahkan karena dinilai tidak relevan lagi dengan kebutuhan, ada lembaga negara yang dihapus dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.